Seminar Sastra UIN

(20 September 2022) Hari ini tepatnya hari Selasa, dimana kuliah tatap muka tidak ada dalam jadwal. Sebagai gantinya, kebetulan hari ini, prodi kami mengadakan seminar sastra internasional. Narasumbernya ada 3 -dan secara berurutan disampaikan- yaitu: Dr. Abdul Razak Abdulroya Panaemalae (pengajar di Walailak University, Thailand), Dr. Ahmad Yani (Assistant Professor di  UNISSA Brunei Darussalam), dan Prof. Dr. Imam Ghazali, MA (guru besar fakultas Adab dan Humaniora UINSA Surabaya).

Seminar sastra hari ini mengusung tema: Reconstructing Islamic Identity Through Language, Literatur and History. Jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka menjadi Rekonstruksi Identitas Islam melalui bahasa, Literasi dan sejarah. Dapat dipahami secara garis besar, bahwa seminar ini nantinya akan membahas tentang rekonstruksi identitas Islam dalam sastra tuh bagaimana dan sejauh apa.

Sebagai sebuah catatan, aku akan meresumenya secara bangunan keseluruhan.

Memahami makna dari judulnya terlebih dahulu. Yang pertama, Merekonstruksi itu apa sih? Banyak sekali pendapat tentang makna rekonstruksi itu sendiri. Kalau kita lihat KBBI, rekonstruksi ialah pengembalian seperti semula atau penyusunan dan penggambaran ulang terhadap sesuatu. Adapun narasumber 2 mengutip perkataan para guru mengenai rekonstruksi yaitu
المحافظة على قديم الصالح والأخذ بالجديد أصلح 
yang bermakna: mempertahankan hal lama yang masih baik dan mengambil hal baru bilamana ada hal yang lebih baik.

Anggaplah rumah yang sedang lubang atapnya tapi masih kokoh kayu pondasinya. Maka tidak secara paksa kita hancurkan bangunannya, tapi kita bisa mengganti atap yang lebih baik, lebih kuat, anti bocor agar rumah itu semakin utuh. Sebab pilar penyangganya masihlah bagus. 

Lalu menuju pada kata yang kedua, Identitas Islam. Jika kita meninjau pada kehidupan Rasulullah yang menjadi representasi langsung dari Islam ini sendiri, maka kita akan temui bahwa tidak satu langkah dan pijak pun yang beliau lakukan melainkan berdasarkan dari Al-Qur'an. Hal ini pula dilanjutkan oleh kepribadian para sahabat dan generasi shalafush shalih setelahnya, akhlak nya kembali kepada Al-Qur'an dan As-sunnah. ( رجوع إلى القرآن والسنّة )

Sehingga merekonstruksi identitas Islam melalui sastra adalah meninjau ulang bagaimana identitas Islam tampak dalam bidang sastra. 

Nah sekarang pertanyaannya, bagaimana sejarah perkembangan sastra dan siapa yang punya pengaruh menciptakan corak sastra saat ini?

Jawabannya adalah, mungkin kita sebagai ummat Muslim tidak akan lupa. Bahwa bangsa Arab jahiliyyah adalah bangsa yang maju dibidang sastra. Kehebatan para penyair dan prosais nya tak perlu diragukan lagi. Hingga mereka saling beradu lewat muallaqat yang digantung di Kakbah setiap musim tertentu. Tapi begitu Allah menurunkan firmanNya melalui lisan nabi Muhammad, tidak satupun penyair dan prosais yang juara itu mampu menyaingi satu ayat pun yang semisalnya. 

Sebabnya sederhana, mengapa kata-kata dalam Al Qur'an indah bukan main adalah karena yang membuat bukan manusia. Maha dahsyat yang tidak akan setara untuk disaingi.

Dari segi isinya pun, bukan bahasa puitis yang tanpa makna, layaknya novel pengisi waktu senggang. Tapi menyimpan kisah-kisah luar biasa yang telah terjadi nyata misalnya bagaimana nabi Musa membelah lautan hanya dengan tongkatnya dan tenggelamnya Firaun bersama tentaranya, dan kisah-kisah rahasia yang belum bisa dirasakan manusia seperti kenikmatan surga dan kengerian neraka. 

Maka kalau kita baca sastra dalam pandangan Islam, acuannya sederhana yaitu sarana mengenalkan Islamnya. Bukan Islam sebagai sarana mengenal sastranya. Itulah kenapa, dalam Islam tidak dikenal karya sastra fiksi yang hanya memuat khayalan semata. Karena khayalan itu sendiri tidak diajarkan dalam Islam. Justru yang diajarkan Islam adalah cerita-cerita nyata Al-Qur'an yang bisa menjadi pelajaran bagi manusia. Sedangkan keindahan sastranya Al Qur'an adalah pelengkap kemukjizatan Al Qur'an.

Seiring dengan hilangnya nilai-nilai islami, maka masuklah nilai-nilai barat dalam tubuh sastra yang sudah pasti nilai barat juga bersumber dari ideologinya yang terpisah dari nilai agama. Nilai liberalisme, sekulerisme, bahkan feminisme turut mewarnai corak sastra modern yang tidak sedikit dikarang oleh para sastrawan-sastrawan muslim.

Dr. Razak sempat juga menjelaskan bahwa sastra yang lahir dari identitas Islam adalah sastra yang membawa misi tauhid, yaitu mengarahkan manusia untuk kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah seperti hadist nabi 
تركت فيكم أمرين لن تضل ماتمسكتم بهما كتاب الله و سنة  رسوله >>

Sastrawan muslim pun harus mengkaji secara kritikal bahwa unsur sastra seringkali disusupi oleh ide-ide yang bukan berasal dari Islam semisal kata 'wine' dalam Rubaiyat karya Omar Khayyam, yang seolah indah tetapi sebetulnya membawa misi pengalihan dari Islam itu sendiri.


0 comments