Stress Itu Kurang Iman?


Seringkali, ketika obrolan dikalangan teman-teman mulai menjurus ke arah curhat, biasanya ditengah-tengah pembicaraan ada yang nyeletuk: "pantes aja anti stress. Itu lho dicek ibadahnya lagi menurun." Atau, nggak jarang juga komentarnya sama hanya dengan narasi yang berbeda, misalnya "ya udah mendekat ke Allah, sana. Lagi kurang iman tuh." Haha. Agak sadis yaa judgement ini. Tapi begitulah faktanya. Seringkali stress dikaitkan dengan kondisi diri yang lagi kurang iman.

Pertanyaannya, emang bener yaa stress itu faktor kurang iman??

Kebetulan kemarin, di event BMIC x SWI' Community menyelenggarakan event nonton bareng Nasional dengan judul "Rise Up For Islam, Or Be A Victim?", Sebuah acara yang luar biasa keren, dan salah satu jawaban dari pertanyaan tersebut diulas oleh sang narasumber acara.

Walaupun sedikit menyakitkan, mari kita mengatakan dengan transparansi, bahwa stress memang bisa jadi disebabkan oleh faktor kurang iman. Tapi, tidak semua stress bermula dari kurang iman.

1. Harus memahami konsep qadha dan qadar
Kurang iman disini mungkin lebih enak kita definisikan sebagai minim pemahaman spiritual (agama). Orang stress itu pasti bermula dari overthinking. Nah coba kita telisik, apa aja sih yang membuat orang tuh overthinking? Macem-macem sih pastinya. Misal soal jerawat di tengah-tengah hidung aja udah bikin cewe overthinking parah sampai malu ke kampus, hehe. Banyak gak yang kaya gitu? Udah stress berat banget.

Nggak lulus ujian masuk perguruan tinggi, bisa juga bikin stress tuh, bahkan ada yang sampai berujung depresi. Ditinggal nikah sama pria idaman atau nggak kunjung menikah juga ada yang berakhir pada stress. Semua itu terjadi saat kita tidak siap ekspektasi yang berbeda dengan realita. Jadinya kita khawatir dan over takut dengan kondisi yang akan menimpa kita selanjutnya. Itulah asal mula dari stress.

Sementara itu, sadar ga sih, kalau sebetulnya Allah sudah mengatur jodoh, rezeki, dan kematian setiap manusia itu 5000 tahun sebelum bumi dan alam semesta tercipta. Pengaturan ketiga hal itu sudah sangat epic dan teratur lagi indah. Dan boleh jadi sesuatu yang tidak kita sukai itu yang kita butuhkan. Sebaliknya, kadangkala yang kita amat harapkan tidak dikabulkan, sebab Allah tahu itu tidak kita butuhkan. 

Inilah konsep qada dan qadar. Seseorang yang memahami konsep ini, akan yakin dan percaya penuh bahwa Allah telah mengatur seluruh  hidupnya dengan rapi. Jika suatu takdir menimpanya, ia hanya akan pasrah dan menjalaninya dengan ridha. 

Untuk masalah fisik yang kurang kita senangi (misalkan terlahir dengan warna kulit sawo matang, tubuh pendek, badan gemuk, hidung tidak mancung, suara melengking, dst) itu adalah murni penciptaan Allah yang kita tidak dituntut mengubahnya. Kalau malu gimana? Nah jika malu, ingatlah bahwa Allah tidak akan memintai pertanggungjawaban tentang mengapa hidung kita mancung ke dalam, mengapa tangannya hitam, mengapa rambutnya keriting... Tidak akan dihisab oleh Allah! 

2. Keluarga, sahabat, masyarakat yang toxic
Stress bisa jadi juga bukan dari diri personalnya yang kurang spiritual kepada Tuhan. Tapi nggak dipungkiri hal itu juga bisa terjadi jika ia berada dikalangan orang-orang yang menuntutnya memenuhi segala hal. Misalnya orangtua.

Kita tidak pernah memilih dilahirkan dari orangtua yang seperti apa. Ada yang mengeluh, mengapa orangtua nya begitu menuntutnya berpendidikan tinggi agar karirnya sukses dan bisa hidup kaya raya. Ada juga yang mengaku toxic menjadi anak dari orangtua yang selalu merendahkannya dan membandingkannya dengan saudara yang lain. Itu semua sesuatu yang diluar ranah kekuasaan kita.

Hal lain lagi, ada pula yang di kehidupan keluarganya tidak banyak menuntut, tetapi di realita sosial, masyarakat menariknya untuk memenuhi ini dan itu. Contohnya, fomo. Ikutan trend ke cafe ini itu, pakai ootd yang lagi viral, harus punya Iphone 5, dll tanpa mempertimbangkan sebenernya budgetnya mencukupi atau tidak. 

Semua itu bisa menjadi indikator seseorang stress. Pertanyaannya, gimana cara tetap kuat menghadapi orangtua yang seperti itu, dan lingkungan sosial yang toxic itu?

Allah mencontohkan dalam Al Qur'an potret keluarga teladan yakni Luqman dan anaknya. Ketika sang ayah memberinya nasehat untuk tidak mempersekutukan Allah dan berbakti kepada orangtua. Mereka lah faktor lahirnya kita ke muka bumi. Rasulullah saw. bersabda: “Keridhaan Allah terletak di atas keridhaan orang tua dan kemurkaan Allah terletak di atas kemurkaan orang tua.” Apapun perlakuan orangtua kepada kita, kita tetap tidak boleh menentang, bersuara lebih tinggi. Doakan dalam setiap sholat, agar hati masing-masing diluluhkan untuk mendukung kebaikan orang tua dan anak. 

Adapun agar tidak terikut serta dalam lingkungan sosial yang toxic maka kita bisa pandai memilih teman. Memilih teman yang baik itu ibarat orang yang berteman dengan penjual minyak wangi, maka akan terindikasi wangi. Sebaliknya berteman dengan pandai besi, akan terindikasi bau tak sedap ya pula. 

Teman-teman yang sholihah bakal mengajak kita pada kesibukan yang berfaedah. Orang mental illness itu menghabiskan banyak waktu untuk berpikir yang tidak seharusnya. Itu semua dapat dialihkan dengan sibuk pada hal-hal yang diridhai Allah.

3. Hilangnya peran negara dalam meriayah warga negara 
Ngomong-ngomong pernah denger gak sih kalo di luar negeri tuh sampai ada cafe khusus orang stress tau... Hmm kebayang nggak buat apa? Ya pasti ujung-ujungnya buat cuan. Mumpung bisa dimanfaatkan sebagai bisnis gitu ya.

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan bahwa lebih dari 19 juta penduduk berusia <15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan <12 juta penduduk berusia lebih dari 15 tahun mengalami depresi.

Ngerasa nggak sih, dulu tuh orang mental illness itu tidak sebanyak sekarang. Kayak gampang banget dan mudah bnget melabeli diri sedang terkena penyakit mental alias stress. Dan faktanya kehidupan hari ini memanglah membuat semakin terciptanya mental illness pada masyarakat.

Kalau kita lihat di masyarakat hari ini, mayoritas orang itu stress karena masalah ekonomi. Uang gaji 5 juta, tetap aja defisit buat bayar listrik, air, makan sebulan, bayar SPP anak-anak. Itu pun belum terhitung dengan keperluan mendesak atau kebutuhan hidup selain makanan. 

Walhasil lihat anaknya sendiri sakit, dimarahin dengan alasan "udah tau berobat juga bayar, malah sakit." Terus harus mengantar anaknya sekolah pun komentar "sekolah kok jauh banget, bensin tinggal dikit, BBM naik, gak cukup ini lho yang ayah ibu."

Yah agak kasihan yaa, ujungnya anak polos yang bisanya cuma taat sama orangtua jadi kena amarah.

Semua bahan baku, bahan bakar, biaya administratif semakin naik dan pajaknya bertambah. Sementara gaji juga gak cukup buat memenuhi itu semua. Belum jika divonis PHK. Disitulah stress bertumpuk-tumpuk.

Islam itu agama yang tidak hanya punya konsep agama privat saja tetapi juga konsep kesejahteraan masyarakat, dan konsep negara.
Dalam Islam negara memiliki kewajiban untuk:

1) memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya
2) Membawa suasana keimanan pada setiap warna negaranya

Kebayang nggak sih, kalau semua kebutuhan hidup ditanggung oleh negara?
Kebutuhan pokok seperti sandang, pangan,papan, biaya listrik, air, pendidikan, jaminan kesehatan semua telah diurus negara, maka kita hanya akan fokus dengan peran kita sebagai orang yang bermanfaat dan fokus beribadah sebagai hamba Allah.

Mana ada celah untuk munculnya mental illnes, kalau semua sudah tercukupi?

0 comments