Genderang perlawanan tak henti-henti bermunculan. Berbagai pihak dari elemen masyarakat tak mau jengah untuk menyuarakan penolakan pada kebijakan pemerintah yang baru saja disahkan oleh DPR pada Senin (05/10/2020). RUU yang diketok palu menjadi UU secara sepihak sangat menyiratkan seakan rakyat tak punya andil persetujuan.
Bagaimana tidak? Sejak masih digodok menjadi RUU Omnibuslaw, masyarakat sudah menolak adanya bakal aturan yang semakin mencekik keadaan prihatin yang menimpa rakyat khususnya kaum buruh. Ditambah masa pandemi begini, kualitas pekerjaan buruh dengan upah yang tak seberapa, untuk tuntutan biaya hidup keluarga rasanya jauh dari kata seimbang. Sumber pangan sehari-hari terus melonjak, listrik dan biaya pendidikan anak-anak, belum lagi karena adanya daring yang membutuhkan kuota. Tak lupa, banyak pekerja buruh yang di PHK massal pada pandemi ini.
Pemerintah bukannya justru meredam hasrat kekuasaannya dalam pengesahan RUU ini, tetapi terkesan memburu-buru agar secara cepat dapat menjadi UU, bahkan pengesahannya sama seperti pengesahan RUU KUHP setahun yang lalu, ibarat main petak umpet, bangun tidur, rakyat dikejutkan sampai pingsan.
Secara bahasa Omnibuslaw berasal dari bahasa latin. Omnibus bermakna 'semua'. Sedangkan law dibelakangnya adalah hukum. Terminologi nya adalah hukum yang bisa mencakup untuk semua hal atau satu undang-undang yang mengatur banyak hal.
Tak ayal UU Omnibuslaw memang mencakup beberapa bidang, diantaranya UU tentang cipta kerja, ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk pengelolaan perekonomian, serta pengembangan dan penguatan sektor keuangan.
UU turunannya mengenai cipta kerja dicatut sebagai poin utama yang sangat menyengsarakan para buruh. Pengesahannya melahirkan ketentuan bagi buruh diantaranya adanya pesangon tanpa kepastian, perluasan status kontrak dan outsourcing, mudahnya PHK pada buruh, penghapusan UMK/UMSK, adanya aturan pemberian upah sesuai jam kerja, penghapusan pensiun bagi buruh serta jaminan kesehatan. Dinilai UU ini juga meluweskan masuknya pekerja kasar asing ke dalam negeri dan terhapusnya tindak pidana apabila ada perusahaan yang melanggar sejumlah hukum yang berlaku.
Mahasiswa, buruh, masyarakat umum, hingga K-popers bersinergi melakukan berbagai demo di seluruh wilayah, maupun menaikkan rating konten penolakan UU tetap disahkan di berbagai media sosial. Tagar twitter #mositidakpercaya pun hingga masuk ke top trending dunia.
Tak meragukan lagi, ada dalam sistem demokrasi, yang katanya melanggengkan kebebasan rakyat sebagai pemain utama dalam tersahkannya aturan, hanya janji pemanis yang dikoarkan awal-awal ingin dijabat sebagai senjata pemikat rakyat. Setelah suara rakyat dikantongi, janji itu seakan senjata makan tuan. Rakyat terus menerus dalam kondisi yang sama bahkan justru semakin mencekik hidup rakyat dari periode ke periode.
Dalam Islam sendiri, sebagai sebuah agama sekaligus ideologi yang memiliki sepaket aturan lengkap untuk mengatur pengurusan kehidupan manusia dalam berbagai aspek dan sektor. Semua aturan ini tak lahir dari manusia yang punya sifat keterbatasan, tak pula atas dasar kompromi, melainkan dari Allah yang maha Mulia, tertuang dalam Al-Qur'an dan As-sunah.
Omnibuslaw mencekik rakyat, Islam law atau aturan Islam akan membawa kemaslahatan tak cuma bagi para pekerja tapi juga pengusaha. Islam mendudukkan masalah tentang ketenagakerjaan, bergantung pada kontrak kerja (aqad ijarah) dimana kesepakatan mengenai ketentuan-ketentuan selama kontrak, disepakati secara sah dan sukarela oleh kedua belah pihak. Hal ini akan meniadakan adanya salah satu pihak yang terdzolimi maupun mendzolimi.
Nabi SAW bersabda :
مطل الغني ظلم
" Menunda penunaian kewajiban (bagi yang mampu) termasuk kedzaliman. "
(H.R Al- Bukhari dan Muslim)
Jikapun ada kedzaliman yang mungkin terjadi dalam kontrak kerja tersebut, maka negara Islam akan menindak tegas apabila perselisihan tetap berlanjut, dengan mendatangkan tenaga ahli.
Negara Islam pun akan menjamin aspek kehidupan para pekerja, dengan cara penunjangan tuntutan hidup, seperti ketercukupan fasilitas kesehatan, jaminan biaya pendidikan, sehingga ekonomi keluarga akan tetap stabil dan sejahtera.
Pengaduan dari rakyat termasuk para pekerja mengenai buruknya penerapan aturan yang ditetapkan penguasa juga dapat disampaikan melalui adanya majelis ummat. Masyarakat baik muslim maupun non muslim dapat menyampaikan muhasabahnya pada majelis umat ini. Majelis umat tidak dibentuk dari anggota pemerintahan, namun murni dari kalangan kaum muslimin sendiri, sehingga hal ini menjauhkan dari adanya praktik persengkongkolan penguasa. Disamping itu, terdapat pula Qadhi madhalim yang memiliki wewenang memeriksa serta memutuskan perkara kedzaliman yang terjadi baik dari pemerintahan maupun masyarakat.
Jika masih berada dalam sistem yang sama bukan tidak memungkinkan rakyat terus menerus di mainkan oleh para pemilik kebijakan. Pergantian kepemimpinan tanpa pencabutan sistem yang rusak tidak akan menghasilkan perubahan yang benar. Allah berfirman dalam Q.S Al-Anbiya :107
وَما أَرْسَلْناكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعالَمِينَ
“Kami tidak mengutus engkau, Wahai Muhammad, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia”
Kini masyarakat dari berbagai elemen telah bergerak untuk menentang kedzaliman penguasa atas munculnya UU Omnibuslaw yang jelas menyengsarakan rakyat. Saatnya masyarakat juga bangkit menyuarakan penerapan aturan Islam untuk kehidupan, tak hanya kesejahteraan kaum buruh, tapi juga terjaminnya kehidupan yang layak dari berbagai aspek.
- Ganti Omnibuslaw, Islam law solusinya !.
2 comments
Nice
BalasHapusAamiin.. Syukran 🙏
Hapus