Dear 2020

Dear 2020.

2020 memang bukan angka islami. Beberapa beranggapan bahwa tahun ini tak penting ketimbang bilangan 1441 dalam deret Hijriyah. Sejatinya memang dalam Islam sendiri merayakan tahun baru itu bukan suatu yang punya tuntunan. Apalagi tahun Masehi. Tetapi, sebagai muslim, kita bisa memaknainya sebagai momentum perbaikan dan muhasabah diri. 

Iya, perbaikan dan muhasabah diri.  365 hari kita habis untuk banyak memberi manfaat atau membuat mudharat? Sudah berapa senyum manusia diukir? Atau justru menggali sedih dalam luka orang lain. Jangan-jangan kita ada dalam 'wujudihi ka'adaamihi' ada atau tiadanya kita tak punya pengaruh apapun bagi orang lain.

2020 malam ini berakhir. Rasanya lembar ini berat sekali dibalik. Entahlah tangisan penyesalan atau rasa haru yang bercampur aduk. Terlalu banyak kenangan yang terbuat meski sangat jauh dari kata sempurna. Januari hingga Desember rasanya sangaaaat singkat dengan cerita yang tak terlupakan.

Soal pribadi, pasti semua orang punya cerita. Dan bagian ceritaku punya kesan mendalam bagi diriku sendiri, yang mungkin terlalu lebay bagi orang lain. Kalau kisahmu bagaimana? Coba ceritakan dalam konsep dirimu sendiri. Tak ada benar dan salah dalam kamus kehidupan.

Bagi negara kita sendiri, banyak sekali dokumenter setahun belakangan. Aku percaya Allah SWT memilihkan 2020 sebagai nomor tahun yang unik maka bukan tanpa sebab disana ada sesuatu yang istimewa.

2020 dunia rapuh dengan selimut wabah yang tak tertolong. Pandemi berkepanjangan di Indonesia, memakan korban tak pandang bulu latar belakangnya seperti apa. Ustadz sesholih apapun, dokter sehebat apapun, muda dan tua tak menjamin aman dari serangan wabah. Ratusan perawat dan puluhan dokter wafat dalam pengabdian.

Politik Indonesia juga tampak kalut. Orang bilang tahun 2020 adalah tahun politik dielu-elukan sampai halal segala cara. 2020 adalah masa dimana menkes tak paham menahu tentang covid. Mensos sibuk korup bansos saat rakyat bingung bagaimana cara bertahan hidup. Menaker ciptakan omnibuslaw yang sebabkan banyak ayah pilu oleh PHK. Menag sibuk sosialisasi untuk waspada pada anak good looking tapi disisi lain wapres suruh kita berkiblat dengan budaya bad looking.

Hingga akhirnya kini, angka 2020 itu berakhir. Namun akhir angka bukanlah penentu gerbang keberhasilan dan secercah cahaya yang terang.
Barangkali episode pilu ini memang belum berakhir, hanya terjeda sesaat dalam tanda "pause" dokumenter. Harapan itu boleh, selama matahari masih bersinar terang dan ayam berkokok di fajar menyingsing. 

Tetapi ingatlah bahwa belajar dari masa lalu adalah instrumen terpenting dalam sebuah perubahan. 2021 adalah lembar baru yang tak bisa dielak. Mari mengubah langkah yang lebih baik, dan melanjutkan estafet perjuangan yang hakiki.

Semoga semua harapan ku, kamu dan kita dapat melangit dengan gemilangnya. Aamiin. Semngat!

0 comments