Alasan.


Terkadang rasanya sesal. Bercampur sepenggal gerutu dalam hati.

" Sudah tau covid belum ada titik terang usai, mengapa masih merasa aman saja? " 

Batinku saat banyak orang justru semakin mudah keluar rumah tanpa masker. Berjabat tangan tanpa batas. Aku faham sebenarnya mungkin ingin mereka tak buruk. Wajarlah lama tak bertemu dengan hati yang bertaut, sekali bertemu, ingin mengutarakan kasih nan rindu.

Aku pun sama. Sudahlah introvert, dirumah terus lagi. Lengkap sudah ke absurd-an ku ini.

Waktu yang terasa sangat singkat, hingga angka nomorik di kalender menyenggol pelan pipiku. Hah ! Empat purnama lagi, genap setahun stay at home dirumah saja. Aku yang anak pondok, ini kali pertama terkurung dirumah nggak kemana-mana.

Ya mau bagaimana? Menyalahkan takdir? Tidak begitu fergusso :))

Makanya adalah suatu hal yang sangat meresahkan bagiku saat disatu sisi banyak orang yang masih kukuh menjaga dirinya dan orang lain dengan cara tetap dirumah, sementara di sisi yang lain, orang dengan mudah pergi ke luar rumah dengan menyepelekan protokol kesehatan. 

Bagaimanapun, mereka punya alasan. Kerja. Anak dirumah. Makan tak cukup. Listrik terhutang. Bagaimana dapat memenuhi kebutuhan premier tanpa derma? 

Sementara hidup di era kapitalisme seperti ini, segalanya terus melonjak, harga pasar berkompetisi; sementara jika tak begitu, tak untung. Lalu, rakyat kecil seperti kita bisa apa, mudah saja berpikir ' berjuang demi keluarga. Bukan mati karena Corona yang kami takuti, tapi mati kelaparan.. '.

" Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah ‘azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggungjawab atasnya)” 
(HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai dan Ahmad).




0 comments